Jumat, 02 Maret 2012

CANTIK ITU LUKA

Bagi saya, “Cantik Itu Luka” karya Eka Kurniawan adalah merupakan sebuah terobosan literer di dalam khazanah sastra Indonesia. Cukup lama saya merasa tak mendapatkan kepuasan optimum setiap kali selesai membaca sejumlah novel-novel karya penulis asli Indonesia, yaitu semenjak terakhir kali saya membaca “Olenka” karya Budi Darma. Dan baru kali ini saya memperoleh kembali kenikmatan itu, setelah saya menyelesaikan pembacaan saya yang kedua kalinya atas “Cantik Itu Luka.”

Menarik untuk dicermati, bahwa “Cantik Itu Luka” adalah sebuah novel yang menawarkan begitu banyak alternatif kemungkinan pembacaan, dan oleh karena itu ia jauh dari kata membosankan. Ia tidak saja menawarkan sebuah fiksi dengan latar sejarah yang digarap dengan pendekatan yang cukup komprehensif, namun juga didukung oleh resensi dan riset penulisan yang cukup lengkap.

Dalam banyak hal, “Cantik Itu Luka” telah berhasil menampilkan persingunggan dengan fakta yang cukup rinci dan sekaligus mendetail. Di sisi lain, karya tersebut memiliki kesadaran yang sangat kuat atas keberadaannya sebagai sebuah karya fiksi, yang dengan bebas melakukan manufer-manufer yang nyaris tak terbatas, bahkan hingga yang paling liar sesuai dengan kekuatan imajinasi sang pengarang.

Dalam novel ini, secara jenial Eka berhasil meramu begitu banyak aspek permasalahan, beragam peristiwa, dan juga berbagai karakter manusia yang multi dimensional, hingga menjadi sebuah adonan yang luar biasa kaya dan mengenyangkan. Bila coba kita urai satu persatu, maka akan kita temukan berbagai hal yang berkaitan dengan fakta-fakta sejarah, legenda dan juga mitos, kondisi sosio-kultural masyarakat dari berbagai bangsa, sisi-sisi psikologis manusia yang paling wajar hingga kepada yang paling absurd, sampai pada romantika dari hubungan cinta, seksualitas dan kebencian yang demikian rumit dan berbelit sekaligus.

Tapi ia tak berhenti sampai di situ, ia juga menampilkan masalah-masalah pelik yang berhubungan dengan aspek ideologis, politis hingga filsafat. Yang antara lain muncul dalam sosok seorang preman, seorang partisan, seorang syudanco, serta seorang pelacur kelas atas yang sekaligus seorang ibu dari sejumlah anak gadis. Dan Eka juga membawa kita menelusuri sejumlah proses pencarian jati diri dari beberapa orang anak manusia, serta konflik-konflik kejiwaan para tawanan perang dan penderitaan para jugun ianfu, hingga perjuangan manusia dalam upaya menegakkan harkat kemanusiaanya untuk dapat meraih kemerdekaan dan kebebasan.

Di luar itu semua, dengan fasih Eka juga berbicara tentang berbagai fenomena yang berhubungan dengan hal-hal yang berbau gaib, supranatural dan juga misteri, serta yang berkaitan dengan masalah kanuragan dan kedigdayaan hingga masalah penyimpangan seksual. Semua itu mampu ia lebur menjadi satu menjadi sebuah karya yang tidak saja apik, namun sanggup mengocok imajinasi pembaca hingga melampaui batas-batas realitas dan juga ilusi, fakta dan fiksi sekaligus.

Inilah sebabnya mengapa saya berani mengatakan, bahwa “Cantik Itu Luka” adalah merupakan sebuah terobosan literer di dalam khasanah sastra Indonesia. Ia telah melampaui semua batas-batas pencapaian yang telah dilakukan oleh para penulis pendahulunya. Ia tidak berhenti sebagai sebuah fenomena realisme absurd sebagaimana “Olenka” dan “Rafilus” karya Budi Darma. Ia juga mampu mengupas problematika seksualitas dan kisah percintaan dengan latar sejarah menjadi sebuah drama dan sekaligus epik yang menggugah sebagaimana trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” nya Ahmad Tohari, dan dwilogi milik Ayu Utami “Saman” dan “Larung.”

Karakter-karakter tokoh dalam “Cantik Itu Luka” terasa begitu komplet dan kaya. Dalam banyak hal, mereka juga terasa begitu hidup. Sekilas mereka memang tampak berkesan main-main, namun di dalam upaya main-main itu mereka juga sekaligus bisa sangat serius. Memang, banyak karakter-karakter di dalam novel ini yang digambarkan oleh sang penulis dengan cara sedemikian rupa, hingga memberi kesan komikal. Namun bukan berarti mereka tidak memiliki kedalaman. Menurut pengamatan saya, sebagian besar karakter bahkan telah berhasil menampilkan sisi yang paling tragis dan paling ironis dari kehidupan manusia yang sesungguhnya.

Sedikit kelemahan barangkali adalah karena Eka terlampau berani menafikan logika justru kepada hal yang menurut saya sangat mendasar. Bahwa ada beberapa hal, yang menurut saya tetap membutuhkan sebuah penjelasan logis. Dan itu yang tidak berhasil saya temukan sampai kisah ini berakhir. Seperti misalnya dalam kasus mayat sang tokoh utama yang hidup lagi setelah puluhan tahun itu. Walaupun bengkoknya logika tersebut tak mengurangi kenikmatan saya dalam membaca. Namun, rasa ingin tahu atas dasar apa Eka membuat “absurditas” itu menjadi suatu hal yang dapat diterima sebagai kewajaran dalam sebuah fiksi dengan latar sejarah, tetap saja menyisakan sebuah ganjalan di dalam diri saya.

Bagaimanapun patut saya katakan, bahwa masa depan sastra Indonesia banyak bergantung kepada orang muda seperti Eka Kurniawan. Ia tidak berhenti sebagai seorang pendongeng yang cerdas dan sekaligus piawai memainkan alur cerita, dan menggambarkan watak serta karakter tokoh-tokohnya dengan cara yang demikian hidup. Namun lebih daripada itu, harus saya akui bahwa ia mempunyai sebuah visi yang jauh melampaui pemikiran penulis-penulis yang sebaya atau bahkan lebih tua dari usianya.

(Dikutip dari berbagai sumber)

0 komentar:

Posting Komentar