Minggu, 01 April 2012

Siswaku dan Buku Kejujuran Miliknya

Orang jujur itu akan hancur. Kalimat itu sering terdengar mengolok-olok nurani kita saat berusaha jujur atau berusaha menampakkan kejujuran di tengah-tengah masyarakat. Kalimat itu seperti hantu yang menyurutkan semangat untuk terus melangkah menuju kejujuran. Kalimat itu seakan-akan mengantarkan orang jujur untuk senantiasa terkubur. Yah, itulah realita yang terjadi di masyarakat ketika kita berbicara tentang kejujuran. Jujur, senantiasa diolok-olok. Jujur, mudah diucapkan tapi sukar tuk dilaksanakan.

Mindset yang berkembang saat ini, jujur akan hancur, memang menjadi tantangan tersendiri untuk membumikan kejujuran di tengah-tengah masyarakat. Tak terkecuali dengan yang terjadi di dunia pendidikan. Pendidikan saat ini masih terpancang pada hasil, bukan pada proses. Akibatnya, murid dan wali murid baru merasa puas jika nilai yang didapatkan seorang murid adalah nilai yang bagus. Tentu hal itu adalah hal yang manusiawi. Tetapi jika kesuksesan diperoleh dengan cara instan atau kecurangan maka itu akan menjadi masalah kronis bagi dunia pendidikan yang notabene dituntut untuk menghasilkan generasi unggul baik secara akademis maupun akhlaqul karimah. Guru yang menjadi ujung tombak pendidikan memunyai tantangan yang cukup berat guna meluruskan mindset tersebut.

Ujian dan pengerjaan tugas sehari-hari di sekolah merupakan sarana bagi guru untuk mengetahui letak kejujuran siswanya. Begitupun dengan yang saya lakukan. Saya yang mengampu pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah sering menemui ketidakjujuran terjadi pada siswa melalui tugas dan ulangan yang mereka kerjakan. Contoh sederhana ketika mereka diarahkan untuk mengerjakan tugas penulisan puisi di rumah, ada beberapa siswa yang tak menulis sendiri puisi tersebut. Beberapa siswa tersebut malah mengunduh puisi dari sastrawan terkenal semacam Khairil Anwar, Asrul Sani, sampai pada puisi karangan Emha Ainun Nadjib. Tentu puisi yang mereka unduh tak sesuai dengan perolehan kata yang mereka punya. Alhasil, saya mengetahui bahwa puisi yang mereka kerjakan bukan puisi yang mereka tulis secara mandiri. Tak jarang dari mereka yang bersikukuh bahwa puisi tersebut adalah tulisan mereka sendiri. Akhirnya, tak jarang pula saya harus membuktikan jika itu bukan puisi tulisan mereka.

Contoh lain ketika ulangan harian atau ulangan tengah semester tiba. Tak jarang pula siswa melakukan kecurangan-kecurangan. Hal yang paling mudah ditemui adalah ketika mereka mencontek dan hasilnya pekerjaan mereka sama antara satu dengan yang lain.

Tentu kecurangan dan ketidakjujuran itu seringkali saya bicarakan dengan mereka. Bahkan, karena bertindak sebagai wali kelas, saya tempelkan beberapa slogan-slogan tentang kejujuran sambil berharap mereka bisa berubah tuk terbiasa jujur. Tak bosan, saya menyampaikan pada mereka tentang hikmah kejujuran. Tak jarang pula saya menanamkan sikap kepada mereka jika kita senantiasa diawasi oleh Allah. Tapi tampaknya itu semua belum berhasil. Tak jarang pula ketidakjujuran mereka memancing emosi yang selama ini saya simpan rapat. Namun saya percaya, kekerasan bukanlah hal yang terbaik untuk mengatasi ketidakjujuran mereka. Umpatan juga bukanlah solusi tuk mendidik mereka.

Langkah yang saya lakukan selanjutnya, ketika slogan dan wejangan yang diberikan tak mujarab untuk mereka, adalah dengan mengadakan muhasabah yaumiah. Kegiatan semacam renungan yang saya adakan setelah pulang sekolah. Gumam dan keluhan keluar dari lisan mereka saat hal ini saya utarakan. Hal ini saya anggap sebagai nyanyian belaka yang keluar dari diri mereka yang lugu. Tentu, kegiatan ini saya mulai dari kelas 8A yang notabene saya adalah wali kelasnya.

Pada kegiatan itu, siswa saya ajak untuk bersama-sama melantunkan ayat Alqur’an. Mulai dari surat Al Fatihah hingga surat-surat pendek yang saya rencanakan berganti setiap harinya. Tak lupa juga terjemahan dari surat yang dibaca bersama-sama tersebut dibaca oleh salah satu dari siswa secara bergiliran tiap harinya. Setelah semua ayat Qur’an yang ditunjuk terbaca, siswa saya beri kesempatan sejenak untuk merenung. Ya, merenungi apa yang telah dilakukannya seharian penuh mulai dari pagi hari saat berangkat sekolah sampai sore hari saat pulang sekolah. Tak jarang, mereka ada yang menangis sesenggukan. Tak jarang pula ada yang tanpa ekspresi dan ada pula yang tertawa cekikikan melihat temannya menangis. Proses itu saya biarkan terjadi karena suatu saat semua akan menyadari arti penting kegiatan ini

Kali pertama saya adakan kegiatan tersebut, saya bagikan satu persatu buku catatan kosong pada mereka. Mula-mula mereka heran, apa yang akan mereka lakukan terhadap buku ini sampai-sampai keluar dari lisan salah seorang murid sebuah pertanyaan. “Pak, buku ini untuk apa?” tanya Febri sang ketua kelas. “Buku ini sebenarnya adalah buku kejujuran. Bapak bagikan gratis untuk kalian. Di sini kalian bisa menulis apa saja. Setiap hari, saat pulang sekolah, semua siswa harus masuk kelas untuk melakukan muhasabah yaumiah. Kemudian kalian menulis apa yang telah kalian lakukan hari ini baik itu senang, sedih, marah, kecewa, cinta, atau apa saja ke dalam buku ini. Selain itu, kalian bisa mengkritik bapak atau teman yang lain lewat tulisan-tulisanmu. Tuliskan semuanya karena buku itu nanti kamu pegang sendiri dan kalian kumpulkan ke bapak setiap hari kamis. Tidak usah takut untuk menulis. Mulai sekarang semua siswa harus menulis” Jawab saya atas pertanyaan Febri. “Jadi kalau nulis di sini gak boleh bohong ya, Pak?”, tanya Dhella. Iya dong, harus jujur. Sekali lagi kalian tak usah takut karena hanya Bapak dan kalian sendiri saja yang tahu.

Setiap hari kamis buku kejujuran mereka kumpulkan kepada saya. Hari kamis saya pilih karena Jumat mereka hanya melaksanakan ekstrakurikuler sedangkan hari Sabtu mereka libur. Tak terduga, hari Kamis mereka serempak mengumpulkan apa yang mereka tulis. Luar biasa. Saya tak sabar untuk membaca hasil tulisan mereka. Dan hasilnya, banyak sekali kejadian yang selama ini tak terungkap, mereka ceritakan kepada saya. Mulai dari yang masih mencontek pekerjaan temannya sampai ada yang mulai berubah untuk tidak mencontek lagi. Ini adalah awal yang baik untuk membiasakan kejujuran kepada mereka.

Berikut beberapa tulisan yang saya kutip dari buku kejujuran siswa:

“Aku senang belajar bahasa inggris hari ini Pak karena gurunya baru dan orangnya cantik. Tapi aku lupa sapa tadi namanya Pak”

“Aku tadi berhasil dapat nilai 100 waktu ulangan matematika tapi itu semua nggak buat aku bangga karena ada beberapa nomer yang aku kerjakan dengan cara nyontek. Maafkan aku Allah, maafkan aku Pak Zaenal, maafkan aku bapak ibu, maafkan aku pak Taufiq.”

“Hari ini aku ditembak cowok. Mau diterima gimana mau gak diterima gimana. Aku takut Pak dimarahi mama kalo pacaran.”

“Saya senang sekali hari ini Pak karena ibu dan ayah di rumah gak berantem lagi. Akhirnya mereka berdua ngantar aku sekolah sehingga aku gak terlambat lagi.”

Dari buku kejujuran tersebut saya belajar banyak hal tentang siswa saya. Tentang harapan mereka, masalah mereka, cita-cita mereka, ide mereka, sampai tentang kehidupan pribadi mereka. Dari buku kejujuran tersebut saya juga mendapatkan fungsi lain. Melatih mereka menulis. Meskipun kacau dalam penggunaan tanda baca dan kalimat, usaha mereka layak diacungi jempol. Lambat laun saya yakin penggunaan kalimat mereka, pemilihan kata mereka, penggunaan tanda baca mereka pasti lebih baik.

Setiap hari Kamis, tulisan mereka tak sekadar dikumpulkan pada saya lantas saya baca selesai. Saya juga memberikan umpan balik pada mereka. Umpan balik itu berupa evaluasi tulisan yang mereka buat dan tanggapan atau jawaban saya tentang tulisan yang mereka tulis. Tentu nilai kejujuran saya utamakan tersuntik ke dalam diri mereka. Dari sanalah, kejujuran sedikit demi sedikit menjadi pembiasaan sambil memperbaiki siswa dalam hal menulis. Penghargaan juga saya berikan kepada mereka atas tulisan terbaik setiap minggunya. Tak mewah penghargaan yang saya berikan. Hanya sebuah stiker bertuliskan “Aku telah berusaha jujur dan cakap menulis hari ini”. Stiker sederhana itu telah membuat mereka bangga dan termotivasi untuk jujur dan cakap menulis dalam minggu-minggu berikutnya.

Lambat laun, kejujuran mereka mulai terbentuk. Tak sampai tiga bulan, kejujuran mereka mulai kentara. Hal itu saya amati dari tugas yang tak lagi hasil mencontek. Dari ulangan yang dengan percaya diri mereka kerjakan sendiri. Dari kata bapak-ibu guru yang mengajar mereka. Kejujuran mulai tumbuh bersemi dalam nurani mereka. Alangkah bahagianya saya waktu itu.

Harapan besar saya akhirnya, kejujuran itu terpatri dalam hati nurani mereka. Pembiasaan kejujuran itu mereka terapkan dalam pengerjaan tugas atau ulangan. Pembiasaan kejujuran itu mereka letupkan untuk mengatakan tidak pada bocoran soal ujian nasional. Dan akhirnya, pembiasaan kejujuran itu menjadi ruh yang membuat mereka dapat bertahan hidup di tengah-tengah masyarakat yang menganggap “jujur itu akan hancur”. Karena mereka telah yakin bahwa “jujur itu akan mujur”

14 komentar:

Sungguh menginspirasi. bisa dipraktekkan di kelas lain sebagai kegiatan pembiasaan kejujuran pada siswa. terima kasih telah menginspirasi saya.

Terima kasih atas apresiasi dan semangatnya, saudara. Hal itu akan menambah semangat saya untuk mengembangkan metode lain agar pembiasaan kejujuran di sekolah dapat tertanam dengan baik. Mungkin njenengan punya metode lain untuk membumikan kejujuran? kita bisa share di sini. matur nuwun.

kalo yang saya lakukan di kelas, mungkin juga tak jauh beda dengan yang sampean lakukan. saya biasanya memberi penghargaan kepada siswa yang disiplin, jujur dan dapat nilai yang bagus. penghargaan itu biasanya saya wujudkan dengan memberi mereka bolpoin atau stiker penghargaan. nanti saya tunjukkan seperti apa stiker yang saya buat. tunggu ya. hehehe...

wah, saya ngajar olahraga e. piye carane urun dalam membiasakan kejujuran itu???

apakah perlu kejujuran itu terus d ajarkan padahal orang yang jujur tidak di hargai bahkan cenderung di musuhi di negeri ini bung?

Pak Jemmy : pertanyaan sampean sulit untuk terjawab di era saat ini. jika kejujuran tak dibiasakan, lantas apa yang bisa dibanggakan anak cucu kita kelak dari segi moralnya. hehehe...

Terus berjuang suamiku. Guru tak hanya sebagai pendidik, tapi juga sebagai pemberi teladan bagi siswanya. semoga teladan kejujuran itu terus berkembang dan berbunga hingga berbuah di sekolah yang sampean ajar. tak hanya itu saja, aku berharap teladan kejujuran itu juga menular pada anak-anak kita kelak. semoga. jika kita bersungguh-sungguh, Allah akan bukakan jalan.

Terima kasih istriku atas semangat dan dukungannya. kelak, aku ingin kejujuran itu menjadi budaya bagi kita, bagi murid-murid kita, bagi orang-orang di sekitar kita, dan bagi anak-anak kita. tentu itu bukan suatu hal yang mudah. perlu perjuangan yang dimulai dari diri kita sendiri. doakan saya ya... hehehe

Dengan membiasakan kejujuran mulai dari yang kecil, akan dapat mengubah sesuatu yang besar. semangat pak, untuk membawa perubahan terhadap siswa-siswi kita sebagai generasi jujur bukan generasi hancur karena tak jujur. kepribadian bangsa dipertaruhkan di tangan generasi muda yang kita didik. jika generasi muda yang kita didik itu sudah kehilangan martabatnya karena tak jujur, otomatis akan hilang juga martabat bangsa.

Setelah membaca artikel bapak, sebagai guru baru, saya dapat inspirasi lebih tentang pembelajaran, metode pembelajaran yang berkarakter, hingga nilai-nilai luhur kehidupan. terima kasih pak. semoga menang ya...
hehehe

Ingat waktu itu pak taufiq ngasih aku buku kejujuran. sebenere aku bertanya-tanya, buat apa buku itu. tapi pak taufiq jelasin ke aku dengan baik tentang manfaat buku itu. kami sekelas mulai belajar jujur dan hasilnya kami bertekad saat ujian akhir nasional besok gak akan percaya sama yang namanya bocoran soal. gak akan kepengaruh sama contekan teman. kami berjanji terutama eks 8A akan ngerjain soal unas besok dgn jujur dan kami janji belajar dengan sungguh-sungguh agar besok nilai unas kami bagus. terima kasih pak udah bimbing kami. tak suruhnya anak-anak ntar komen di tulisan bapak ini. doakan kami ya pak...

Waa, pak taufiq ikut ME Award ya? semangat pak tak doakan menang. amiin....

Terus berjuang pak Taufiq. tulisan ini bisa memotivasi guru-guru lain bahwa kita bisa mengubah perangai dan karakter anak didik kita. kami semua di SMP Muhammadiyah 4 Surabaya mendukung kejujuran tumbuh di sekolah. Semoga anak didik kita terus berbenah menjadi baik dari hari ke hari.

Pak, ini ikut lomba ya?? semoga menang ya pak....
doakan kami juga bisa menangin lomba ME award juga ya pak...

Posting Komentar